Komisi V Minta Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika Selesaikan Status Tanah Pelabuhan Pomako
Komisi V DPR RI mendapatkan masukan terkat status tanah Pelabuhan Pomako. Ketua Komisi V Michael Wattimena mengkhawatirkan kalau terjadi polemik seperti itu maka pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara ( APBN) menjadi terkendala.
“Pembebasan tanah atau lahan bukan wewenang Pemerintah Pusat, tapi itu wewenangnya Pemerintah Daerah,” kata Michael Wattimena, saat Kunjungan Kerja Komisi V ke Pelabuhan Pomako, Timika, Papua pekan lalu .
Michael Wattimena mengatakan Komisi V mau daerah ini menjadi maju. Salah satu faktor untuk maju, perlu mengusahakan transportasi laut sebagai ujung tombak. “Laut sebagai salah satu sarana vital dalam rangka memajukan perekonomian di daerah ini,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi V Etha Bulo bahwa persoalan tanah bukan DPR punya urusan tetapi Pemda. Menurutnya, APBN turun kalau persoalan tanah beres. Jadi apapun namanya Pemda punya tanggungjawab soal tanah.
“Di Papua sering terjadi persoalan status tanah tidak beres. Karena tidak ada yang mengurus,” kata Etha Bulo memberikan masukan.
KepalaSyahbandar Pelabuhan Pomako Jimmy Samory memberikan penjelasan kepada Komisi V bahwa Pelabuhan Pomako telah beroperasi dan dikelola Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan , namun status hukum tanah Pelabuhan Pomako belum jelas. “ Pemerintah daerah telah membebaskan, tetapi dikemudian hari itu juga dibebaskan oleh pengusaha. Jadi lokasi yang sama dikuasi oleh Pemerintah Daearah dan pengusaha,” paparnya.
Sampai hari ini, secara hukum, belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah daerah. Kondisi sejak awalnya seperti begitu, yang membangun Dirjen Perhubungan Laut dengan menggunakan APBN, karena kebutuhan daearah sangat mendesak.
Menurut Jimmy Samory, dirinya telah berkali-kali bertulis surat, tapi sampai sekarang belum ada proses penyelesaian antara Pemda dan Pengusaha. Semula yang memiliki masyarakat adat Kamoro dan Kamoro melakukan dua pelepasan, pertama kepada Pemerintah Daerah tahun 2000, dan tahun 2004 dikeluarkan pelepasan yang kedua untuk pengusaha. ”Ada satu pengusaha yang memang berdomisili di Timika yaitu PT.Langgeng,” ungkap Kepala Syahbandar Pelabuhan Pomako.
Persoalan ini telah beberapa kali dibawa ke Pemerintah Daerah untuk diselesaikan, tapi sampai sekarang belum berhasil. Jimmy Samory memberikan informasi bahwa pada bulan Desember 2013, masyarakat mengklaim ke Dirjen Perhubungan Laut di Jakarta. Selanjutnya dirinya dipanggil mengklarifikasi dan menjelaskan status tanah ini.
“Terus dikembalikan dari Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk diselesaikan, namun sampai sekarang masih menunggu karena belum ada Pejabat Daerah Definitif, sehingga belum ada langkah-langkah penanganan penyelesaian,” katanya.
Prioritas Kebutuhan Pelabuhan
Pada Kesempatan tersebut, Komisi V juga mempertanyakan kebutuhan prioritas Pelabuhan Pomako.
Jimmy Samory , sebagai Kepala Syahbandar Pelabuhan Pomako menjelaskan, data yang dipaparkan dari hasil kunjungan kapal yang bongkar muat, Dirjen Perhubungan Laut menyebutkan dermaga pelabuhan ini harus ditambah dan diperpanjang.
“ Saya sebagai Pimpinan pelabuhan disini tidak mau membuat program penambahan, karena masalah tanah ini belum diselesaikan. Oleh karena itu kami pending sementara untuk pengembangan selanjutnya," ujarnya dengan menambahkan bahwa kapasitas dermaga minim dimana panjangnya 215 Meter, sedangkan Kapal Penumpang panjangnya 110.
Ketua Komisi V Michael Wattimena mengatakan keterbatasan dermaga menimbulkan biaya dan harga barang tinggi sehingga masyarakat menjadi korban
“ Kami mengharapkan demaga ini diperpanjang supaya jika kapal penumpang masuk kapal-kapal yang sedang bongkar muat tidak terganggu. Namun dengan status tanah seperti itu pemerintah Pusat belum tentu memberikan anggaran sehingga perlu menunggu bupati definitif,” tegasnya. (As)